Setiap hari bendera berbagai negara dikibarkan di depan pabrik. Mungkin menyesuaikan kebangsaan buruh yang sedang bekerja di san

Perkara Identitas

Sidra
6 min readJun 23, 2024

--

Tulisan ini mengandung deskripsi kekerasan, bisa jadi menimbulkan perasaan tak nyaman buat pembaca. Skip bagian ‘2/’ kalau kau tak mau membacanya.

Minggu kedua kerja di pabrik daging, saya kembali disuruh mencicipi pekerjaan baru. Satu hari saya disuruh bersih-bersih, tapi lebih sering lagi saya kebagian posisi memotong tanduk. Letak posisi yang terakhir saya sebut ini dekat dengan hulu ruang jagal: tempat menyembeli. Karenanya, ruang itu penuh darah dan pemandangan menyedihkan.

Ada banyak yang bisa diceritakan di bagian ini, tapi kali ini saya ingin menjelaskan hal lain terlebih dahulu. Tak lain ialah soal kenapa saya tiba-tiba terdampar di kota kecil bernama Bourke dan memilih bekerja di pabrik daging.

1/

Seperti yang pernah saya singgung di tulisan sebelumnya, saya datang ke sini menggunakan Working Holiday Visa (WHV). Itu adalah visa liburan yang bisa digunakan untuk bekerja. Karena hak kerjanya itu, banyak orang — paling tidak orang Indonesia yang saya temui — menggunakannya untuk mencari uang buat tabungan mereka usai pulang kembali ke Indonesia.

Visa ini sebenarnya hanya berlaku selama setahun, namun bisa diperpanjang hingga tiga tahun lamanya. Syaratnya, yang sebenarnya sudah banyak dijelaskan, pemegang WHV harus mengumpulkan sejumlah slip gaji dari pekerjaan di daerah tertentu (untuk lebih lengkapnya, cobalah cek tautan ini).

Sektornya pun tak bisa sembarangan. Ada kriteria soal sektor mana yang slip gajinya bisa dijadikan persyaratan untuk memperpanjang visa. Perkebunan, misalnya. Tampaknya, sektor ini yang paling ramai diperbincangkan, baik di kalangan pemegang WHV maupun bukan. Tak heran beberapa teman mengira kerja saya bakal tak jauh-jauh dari, “metik-metik beri.”

Kerja di perkebunan tampaknya memang tak lebih berat daripada pabrik daging — setidaknya itu menurut keterangan beberapa kenalan yang mencicipi kedua jenis pekerjaan itu. Tapi saya malah lebih lega mendapatkan pekerjaan ini karena, tak seperti kebun, ia beroperasi di setiap musim. Saya juga tak jadi terjebak dengan beberapa kebun jahanam yang menggaji pekerjanya bukan berdasarkan waktu kerja, melainkan performa (tapi kalau saya menganggur lebih lama, mungkin sekali pekerjaan itu saya ambil).

Alhasil, karena slip gaji pabrik daging di Bourke bisa digunakan untuk memperpanjang visa, ada banyak pemegang WHV di sini. Lebih-lebih lagi orang Indonesia. Saya mengira-ngira, sekitar 70 persen pekerja di pabrik daging ini ialah orang Indonesia. Sisanya ada orang Malaysia, Jepang, China, Tuvalu, dan lain sebagainya.

Saya tak tahu bagian ini bagus atau tidak. Bisa jadi bagus sebab saya jadi bisa mencicip makanan khas Indonesia di acara-acara tertentu. Sebelum saya mulai kerja, misalnya, ada farewell party buat pekerja pabrik daging yang memutuskan pindah. Tak lama setelah itu, ada perayaan iduladha dan salat bersama yang kebanyakan dihadiri orang Indonesia.

Di kedua acara itu, ada banyak makanan Indonesia yang tampak sederhana tapi mewah bagi mereka yang sudah lama merantau. Saya sendiri belum kangen-kangen amat sih, tapi kalau bukan di acara begitu, kapan lagi saya bisa makan klepon?

(Selama sebulan lebih di sini, makanan yang masuk ke perut saya tak jauh dari roti tawar, buah-buahan, lauk kering, telur rebus, mi instan atau makanan kaleng. Paling effort saya cuma masak sayur tumis dihantam pakai bawang dan micin.)

Barangkali itu sisi bagusnya. Tapi di sisi lain, saya jadi kepikiran dengan pertanyaan seorang teman dari Sydney, saat ia tahu saya masih tinggal di sebuah flat berisi orang Indonesia semua. “Orang Indonesia sukanya ngumpul sama orang Indonesia saja ya?”.

Saya tak bisa jawab karena tak tahu pasti. Tapi saya kira wajar belaka jika seseorang berkumpul dengan orang lain yang memiliki kesamaan identitas dan latar belakang. Hanya saja, mungkin bagi teman itu, sayang sekali jika kesempatan macam ini dihabiskan bukan untuk saling memahami sesuatu yang selama ini dianggap liyan.

Terlepas dari itu, ada dua kejadian yang bikin saya berpikir soal barang ganjil bernama identitas itu.

2/

Pertama, soal perasaan inferior sebab bahasa Inggris saya yang tak bagus-bagus amat, apalagi dipakai mendengarkan logat orang Australia yang cukup asing di telinga. Sudah begitu, saya bekerja di ruangan yang sangat berisik, bikin saya makin sulit mendengar instruksi atasan. Satu waktu, saya merasa bodoh sekali ketika seorang atasan berdecak karena saya tak mengerti ucapannya sehingga ia harus mengulang kalimatnya dua kali.

Dan, tak ada yang bikin identitas saya makin merasa merana karena satu kejadian, yakni ketika saya tiba-tiba disuruh bekerja memotong tanduk. Memotong tanduk ini sebenarnya perkara gampang-gampang susah. Gampang karena saya dilengkapi gunting mesin besar yang pengoperasiannya cukup mudah. Tak seperti menggantung kambing, pekerjaan ini juga tak membutuhkan multitasking.

Tapi pekerjaan ini jadi sulit karena metodenya bikin saya kerap tak tega dan ragu. Yang perlu diketahui, beberapa tanduk sangat keras dan karenanya saya tak cukup memotong bagian tanduk saja. Saya juga harus menggunting dari bagian dahi yang lebih lunak sehingga tanduk kambing itu lepas bersama jidat sekalian.

Saya tak tega sebab, meski roh kambing itu mungkin sudah naik ke surga, adakah cara memperlakukan tubuhnya yang tidak sesadis ini?

Bagian yang bikin saya paling ragu adalah saya takut gunting saya tak sengaja memotong matanya. Dan keraguan itu pun berujung petaka. Satu waktu, saya kedatangan kambing dengan tanduk yang sangat panjang dan keras. Karena ragu memotong bagian jidat, saya memaksakan gunting saya memotong tanduknya saja. Tapi gunting saya tidak bergerak. Saya terus memaksanya hingga … krak. Gunting mesin itu patah.

Saya lalu terbirit-birit mencari atasan yang kemudian memanggil seorang teknisi. Keduanya kaget melihat kondisi gunting saya. Atasan itu menampakkan wajah kesal dan bertanya kenapa guntingnya bisa jadi tak karuan seperti itu.

Sambil berkali-kali minta maaf saya menceritakan kronologinya dengan dada yang tak diisi apapun selain perasaan bersalah. Tentu saja, saya nyerocos dengan bahasa Inggris pas-pasan yang diiringi bahasa isyarat: I did this … and then this happened … suddenly bla bla bla …

(Sumpah, saat itu saya merasa seperti TKI yang pantas disiksa. Tapi anjing, kenapa saya berpikir begitu? Lagipula mana ada TKI — atau manusia jenis apapun — yang pantas disiksa? Saya langsung menyingkirkan perasaan inferior tolol itu.)

Alhasil, setelah guntingnya diperbaiki, sang teknisi mencontohkan saya cara menggunting tanduk yang ‘baik dan benar’. Lalu ia kedatangan tanduk besar dan panjang. Cukup besar sehingga gunting tak bisa mencakup bagian jidat. Gunting itu tak berkutik.

Belakangan saya diberitahu teman kalau gunting itu tak patah sekali dua kali. “Itu bukan salah kita, memang kualitas guntingnya yang kurang,” kata dia.

“Kadal kopet,” batin saya. “Jebul gunting e sing bosok.”

3/

Kejadian lain yang bikin saya berpikir ialah saat saya disuruh bersih-bersih Slaughter Floor. Sebagaimana tempat penjagalan pada umumnya, tempat itu kotor karena darah, kotoran, dan organ hewan yang tak bisa diapa-apakan selain dibuang.

Tugas saya sebenarnya nggak rumit. Saya tak mesti bersih-bersih sampai kinclong. Yang penting, ruangan tak sesak dengan bagian-bagian hewan yang tak diperlukan, yang bisa saja menyumbat saluran pembuangan, dan akhirnya bisa mengganggu pemrosesan hewan.

Saya awalnya mengira pekerjaan itu mudah. Pikir saya, siapa sih yang tidak bisa bersih-bersih begini? Pekerjaan macam ini, tak seperti menggantung kambing dan memotong tanduk, tak perlu diajarkan. Tidak pula pakai alat-alat yang ribet. Cukup pakai serok dan sapu karet.

Ternyata, kerjaan ini jauh lebih melelahkan. Pasalnya, saya harus keliling-keliling Slaughter Floor tanpa henti, dari pagi sampai sore. Selain capek, pekerjaan ini bikin saya cepat sekali lapar. Baru istirahat pertama — biasa dipakai buat sarapan — saya sudah nyaris melahap semua bekal saya. Padahal, masih ada istirahat kedua dan ketiga di siang nanti.

Menjelang sore, saya mulai ngos-ngosan. Bersih-bersih ruangan yang memproses 4000 hewan rasanya pukimak sekali.

Di tengah rasa letih, saat membersihkan salah satu sudut ruangan, salah satu atasan mendekati saya. “Ada apa lagi ini?” saya curiga.

Saat itu saya mau mengangkut sekeranjang berisi penis kambing yang baru saja dipotong oleh seorang pekerja. Ini dia penis jahanam yang kemarin bikin saya hampir kena sial waktu gantung kambing. Lalu si atasan itu datang.

Ia menundukkan kepala dan bahunya seolah-olah pengin mengajak ngomong. Saya pun mendekatkan telinga. Dia, sambil menunjuk keranjang yang mau saya angkut, berbisik: “K****l.”

Saya seketika terbahak. Capek saya tak hilang, tapi cara bule mengucapkan pisuhan itu bikin saya geli tak karuan.

Saya jadi berpikir, perbedaan identitas begitupun hal-hal lain yang melekat dengannya — katakanlah bahasa dan dialek — ternyata bisa jadi lucu. Ia tak mesti jadi perkara, asal kita berupaya saling paham.

Kayaknya sih begitu, tapi besar kemungkinan tidak juga. Hahaha.

--

--

Sidra

I share some of my thoughts and works here. You’re welcome