Mari Saling Merawat, Teman-Teman

Sidra
3 min readMay 14, 2024

Jadi begini: saya tinggal di Down Under per 13 Mei hingga mungkin beberapa tahun ke depan. Bukan buat wisata atau kuliah saya datang ke sini, tapi jadi TKI. Beberapa teman agaknya sudah tahu itu. Dan ketika mereka tahu, ada dua jenis respons yang biasa muncul. Pertama, "Mantap. Lanjutkan anak muda!". Respons kedua hampir serupa, lalu beberapa detik kemudian disusul pertanyaan: “Yakin kau, Wak?”

Pertanyaan ini sebenarnya wajar saja buat orang yang banting setir karier, apalagi setir saya nyaris lepas karena tampaknya saya putar terlalu jauh. Mungkin mereka khawatir bekerja di Australia, yang kemungkinan besar berkutat dengan pekerjaan kasar, tak cocok dengan badan ringkih saya. Mungkin juga mereka gusar saya menyia-nyiakan apa yang saya kerjakan sejak lama. Menulis, misalnya.

Tapi yang jelas, pertanyaan tersebut rumit dijawab. Karenanya saya biasa menjawabnya setengah bercanda. Kepada seorang teman, misalnya, saya pernah bilang begini.

Saya sudah merantau sejak umur 11. Selepas SD di Makassar, saya menamatkan pendidikan menengah di Jawa Timur. Saya lantas lanjut kuliah dan bekerja selama enam tahun di Jogja. Jika diibaratkan Isra' Miraj, saya sudah sampai Masjidil Aqsa. "Sedikit lagi sampai Sidratul Muntaha ini, Wak. Tanggung kalau berhenti di Yerusalem," kata saya, mengutip peristiwa religius yang bertepatan dengan tanggal lahir hijriah saya, 27 Rajab.

Sebagai candaan, perkataan itu tentu punya fungsi untuk menyembunyikan jawaban sebenarnya: nggak yakin-yakin amat, sih. Saya mah ngalir aja orangnya, terus tiba-tiba jadi begini. Hahahaha.

Konyol memang, tapi begitulah adanya. Di tengah karier sebelumnya yang biasa-biasa saja, dan kebiasaan beli rokok merek nggak jelas biar hemat, saya tambah sering mempertanyakan makna hidup. "Inikah kekalahan?” tanya saya saat itu. Kepusingan tipikal anak muda yang sebetulnya nggak penting-penting amat dipikirkan terus-menerus.

Untungnya saya segera punya satu cara buat melewati itu, yang sebenarnya standar saja. Yakni, menyingkirkan semua pertanyaan eksistensial busuk itu sambil menghantam semua peluang dan kesempatan, untung maupun berisiko: menulis agak serius, menjajal aktivitas akademik, melibatkan diri ke komunitas, menerima tawaran kerja tambahan, dan belakangan coba-coba mengajukan working holiday visa (WHV) untuk ke Australia.

Apapun itu, asal produktif, hantam saja. Bagaimana jadinya, dilihat nanti. Demikianlah, kepusingan anak muda saya jawab dengan kecerobohan anak muda juga.

Tentu aktivitas itu nggak selalu berjalan lurus. Ada beberapa yang gagal. Sebab, bagaimanapun, hal-hal yang memantik kepusingan sebelumnya tetap hadir: pekerjaan, tuntutan, tidak adanya imajinasi soal masa depan, dst.

Sementara itu, aktivitas yang berjalan mulus tak lepas dari apa yang mungkin kini kerap disebut sebagai support system. Atau lebih spesifiknya lagi, kerja-kerja perawatan (care work)—kalau pakai istilah ndakik-ndakik—yang dilakukan orang lain buat saya. Saat salah satu tenggat tulisan bikin saya merasa payah, misalnya, ada uluran tangan pacar yang bikin saya tak punya alasan untuk berhenti. “Sini kubantu transkrip,” kata dia. Selain menulis, WHV saya yang akhirnya terbit juga tak lepas dari bantuan banyak orang, utamanya keluarga saya.

Itu semua bikin kekhawatiran di awal terasa tak gawat. Intinya sih, jauh maupun dekat, mari saling merawat.

--

--

Sidra

I share some of my thoughts and works here. You’re welcome