Bau amis menusuk hidung saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Slaughter Floor — ruangan tempat saya bekerja di pabrik daging di Bourke.
Dari depan pabrik bau daging memang sudah terendus. Namun, bau yang saya cium di dalam Slaughter Floor bukan sekadar menyengat. Sekali dua kali, saya juga pernah melihat kotorannya terburai dari jeroan yang bocor tanpa disengaja, diiringi teriakan ‘O’ panjang orang-orang sekeliling saya. Sama seperti penampakannya, bau kotoran itu tak sedap bukan main.
Untungnya saya cepat terbiasa dengan hal itu. Hanya saja, tetap ada bagian yang membuat tegang.
Utamanya suasana Slaughter Floor yang terasa sangat efisien dan konstan. Setiap hewan digantung di sebuah pengait dan digerakkan oleh mesin sehingga hewan-hewan itu bisa diproses bergilir oleh para pekerja. Masing-masing pekerja punya tugas yang spesifik: menyembelih hewan; menguliti kaki depan dan pundak; melepas kulit bulat-bulat dari tubuh hewan; mengiris buntut; memisahkan jeroan dari perut; memotong leher; dan lain sebagainya.
Sesekali kepanikan terjadi. Tak lama setelah masuk ruangan, misalnya, saya melihat seseorang mengejar kambing yang lewat dari hadapannya dan belum selesai ia garap. Sambil mengikuti kambing yang terus ‘berjalan’, ia mengiris-iris bagian tubuh hewan itu yang entah apa.
Untung saja ia bisa menyelesaikan garapannya sebelum kambing itu sampai ke pekerja lain. Kalau tidak, biasanya mesin yang menggerakkan pengait bakal distop. Dan sebagai anak baru saya ngilu membayangkan perasaan canggung seorang pekerja yang menjadi penyebab satu ruangan berhenti beroperasi meski hanya beberapa detik.
Jangan tanya apakah saya pernah bikin Slaughter Floor berhenti beroperasi atau tidak. Kalian pasti tahu jawabannya. Dan akan saya ceritakan setelah ini.
Hari pertama bekerja saya lalui dengan mudah, itupun tak penuh delapan jam. Pasalnya, dari pagi sampai siang, saya masih harus menunggu vaksin supaya saya tak terkena penyakit akibat terus-menerus berinteraksi dengan hewan ternak. Setelah itu pun saya dan pekerja baru mesti melewati semacam fase pengenalan perusahaan.
Isinya sebenarnya formalitas saja, tapi saya tetap ngangguk-ngangguk ketika tahu bahwa perusahaan tersebut hanya memproses daging halal, tidak ada babi. Selain pabrik di Bourke, perusahaan tersebut juga punya pabrik di tiga kota lain. Mereka juga punya peternakan. Ada pula kantor buat distribusi di berbagai negara. Paling jauh agaknya ada di Kanada dan China.
Bisa dibilang perusahaan ini cukup besar, meski mereka menyebutnya sebagai ‘family owned’ yang sempat membuat saya berpikir ia berskala kecil belaka. Setelah tiga hari kerja, skala perusahaan itu terasa semakin besar setelah tahu ada 4000 kambing dan domba yang diproses di pabrik tempat saya bekerja. Setiap hari.
Setelah fase pengenalan itu barulah kami diberi perlengkapan: sepasang baju dan celana berwarna putih; masker tebal sebab kami baru divaksin; penutup kepala supaya rambut kami tak rontok di dalam ruang kerja; helm yang dilengkapi penutup telinga sebab ruangan dipenuhi suara bising; sarung tangan kain juga sarung tangan karet; dan apron dari plastik tebal berwarna putih.
Usai mengenakan perlengkapan itu, saya diantar ke bagian yang sering disebut sebagai Buang Lambung oleh orang Indonesia di pabrik. Kerjaannya simpel, yakni membuang jeroan yang terus berdatangan tanpa henti ke dalam cerobong yang terhubung dengan ruangan lain.
Hanya saja kerjaan itu mungkin tak akan cocok buat orang yang gampang jijik. Kadang-kadang, ada jeroan yang bocor dan mau tak mau saya harus menyentuh lambung yang berlumur cairan kuning. Herannya, meskipun menjijikkan, saya masih sempat melihat telapak tangan saya sebelum mencucinya di wastafel yang selalu tersedia di dekat pekerja.
Di luar urusan kotoran kerjaan itu sebenarnya sangat ringan. Sayang, keesokan harinya saya dipindah ke bagian hanging. Di bagian ini, saya menggarap hewan yang baru saja dikuliti dan dadanya baru saja dibelah. Hewan-hewan itu diantar ke tempat saya menggunakan gantungan yang digerakkan mesin.
Posisi hewan itu, saat diantarkan ke hadapan saya, sesekali bikin saya bengong sepersekian detik. Kaki depannya digantung sedang kaki belakangnya terkatung. Dadanya yang sudah dibelek itu persis di depan mata saya. Cahaya lampu yang masuk melalui celah dada itu, lantas meneranginya isinya meski samar-samar, bikin saya kerap membayangkan jantungnya masih berdetak.
Tapi saya tak boleh bengong terlalu lama sebab mesti melaksanakan tugas: menggantung kaki belakangnya ke pengait baru yang juga diantar oleh mesin dari belakang saya. Saya tak paham kenapa kaki belakangnya juga harus digantung sampai saya memerhatikan orang yang memproses hewan setelah bagian saya. Mereka memotong ujung kaki depan yang lebih dulu tergantung sehingga posisi kambing jadi terbalik. Dengan begitu, bagian selanjutnya yang bertugas mengiris buntut jadi lebih mudah.
Kembali ke pekerjaan saya: sebenarnya ia tak sulit. Hanya saja, kerjaan itu punya tugas tambahan yang seringkali merepotkan. Salah satunya, membenarkan pengait yang terus berdatangan dari belakang saya, yang entah kenapa sering sekali tersangkut di tengah jalan. Kalau sudah begitu, saya harus membetulkan pengait itu cepat-cepat lalu kembali menggantung kaki kambing di depan saya.
Jujur, saya bukan tipikal orang yang suka multitasking. Saya bisa melakukannya kalau terdesak, tapi saya memilih menghindarinya sebisa mungkin. Tapi alur kerja pabrik ini berkata lain. Saya tak jarang harus melakukannya dan kemudian kesialan itu tiba.
Sebuah pengait di belakang saya tersangkut dan susah sekali dibetulkan. Sambil membetulkan pengait, saya tolah-toleh ke kambing yang terus berdatangan. Salah satunya berlalu begitu saja seperti perisak tak tahu diri. Tetapi pengait yang saya coba betulkan itu tak juga bergerak meski saya tarik-tarik. Pengait itu baru bergerak kembali ketika kambing sudah mendekat ke bagian pengiris buntut. Lintang pukang saya kejar kambing perisak itu dan mencoba menggantung kakinya sekali tapi gagal. Saya coba lagi untuk kedua kali tapi makin sulit karena kambing itu mulai bergerak ke tempat lebih tinggi. Kakinya pun licin karena darah. Beberapa kali kaki itu lolos dari tangan saya ketika mau saya gantung. Seorang perempuan lantas datang membantu saya mengangkat kambing itu tapi tetap tak bisa. Tak lama, ada teriakan dari belakang saya: “Stop!”
Seketika mesin penggerak pengait itu berhenti dan kami bisa menggantungnya dengan sedikit tenang.
Tak lama, ada pria berbadan bongsor mengenakan seragam berbeda dari yang lain. Ia berdiri di depan saya. Dia tak berkata apa-apa dan karenanya saya kira ia melihat kambing yang saya gantung. Mesin lantas bekerja kembali dan pria itu masih berdiri menatap saya. Hampir 5 menit.
Tatapannya macam Medusa tapi memiliki efek yang berbeda. Alih-alih membeku, saya bekerja macam orang kesetanan. Sambil bergerak cepat saya mendesis … bajingan.
Hari ketiga, agaknya, saya mulai terbiasa. Melihat saya bekerja lebih cepat, pria berbadan bongsor yang kemarin menatap saya mengangguk-angguk dan memberi jempol. Londo ini pintar juga apresiasi orang, pikir saya.
Tapi saya mulai punya masalah dengan kaki. Karena berdiri 8 sampai 9 jam, kaki saya terasa sakit sesampainya di rumah, bikin jalan saya agak pincang.
Selain itu, tak lagi ada hambatan berarti. Apalagi, di hari ketiga, saya sempat dibantu oleh seorang teman asal Tangerang yang sudah hampir 9 bulan kerja di pabrik ini. Mari kita sebut ia Senior. Ia sebenarnya bekerja di bagian chiller, namun hari itu dia disuruh membantu saya setengah hari setelah mengeluh punggungnya sakit. Alhasil, saya bisa fokus menggantung kambing sedang dia sesekali membantu kalau saya tiba-tiba harus membetulkan pengait yang tersangkut atau sebaliknya.
Teman ini dulunya juga bekerja di bagian hanging, sama seperti saya. Konon dia baru terbiasa setelah bekerja dua minggu. Dan cara bekerjanya pun berbeda dengan orang yang pertama kali mengajari saya menggantung kaki, yakni seorang lelaki asal Jepang. Mari kita sebut saja ia Senpai.
Senpai ini bekerja dengan sangat rapi tapi cepat. Sebelum menggantung kambing jantan, ia selalu membetulkan posisi kelamin kambing itu. Lalu sehabis menggantung dua kambing, ia selalu mencuci tangan di wastafel yang cuma berjarak dua langkah dari kami. Saat itu saya simpulkan ia seorang perfeksionis. Dan saya menurut saja ketika ia menyuruh saya mengikuti metodenya itu, meskipun metode itu beberapa kali bikin saya hampir kena sial.
Satu waktu, saat mau membetulkan posisi kelamin kambing, salah satu bagiannya sangat lengket dan tak mau lepas dari tangan saya. Prosesi menggantung kaki lantas jadi terhambat karena saya terdistraksi urusan kelamin. Untung saja kambing itu belum sampai berlalu terlalu jauh. Saya masih tak masalah.
Saya baru merasa kesal ketika melihat metode kerja Senior yang memang jauh lebih senior dari Senpai. Ia cuci tangan cuma sesekali. Ia juga tak pernah membetulkan posisi kelamin kambing sebelum menggarapnya.
Menjelang sore hari, ketika Senpai disuruh membantu saya menggantikan Senior, saya mulai berani melakukan pemberontakan kecil-kecilan. Saya menolak membetulkan posisi kelamin kambing jantan sebelum menggantung kakinya. Sudah punya dua jobdesk kok masih disuruh ngurus peler kambing? Hih!
Endingnya saya menggantung kaki kambing semau saya saja. Yang penting pengaitnya saya tusuk di kaki, bukan di burit. Jadilah saya bisa bekerja sambil bengong, sesekali berpikir mau menulis apa, lebih sering lagi membandingkan kambing yang satu dengan yang lainnya. Kadang-kadang ada kambing bunting yang berat dan bikin saya sedikit repot menggantungnya. Kadang-kadang ada kambing yang jeroannya besar sekali macam orang sembelit. Ada juga kambing jantan yang punya tiga biji.
Memperhatikan hal-hal macam itu mungkin tak ada gunanya, tapi lebih baik daripada terus-menerus menengok jam dinding. Lagipula, saya tak biasa ngobrol sambil kerja.
Lalu tiba-tiba kambing sudah habis, berganti domba. Domba biasanya hanya sedikit, tapi beratnya nauzubillah. Kalau pekerjaan di pabrik ini diibaratkan gim, maka domba ini seperti musuh terakhir dan kambing hanyalah kroco.
Untungnya jumlah domba selalu lebih sedikit. Alhasil, tak terasa hewan yang saya gantung sudah habis. Edan. Saya menggantung hampir 4000 hewan hari itu. Dan mungkin hari-hari setelahnya juga.
Setelah itu, saya pulang dan bersih-bersih. Penghujung hari tinggal cukup buat dipakai tidur dan masak buat bekal besok. Saya jadi berpikir ulang soal pencapaian yang tadi saya bayangkan.
Saya sudah menggantung 4000 hewan, terus kenapa? Sudahlah, saya mau cepat-cepat gajian saja.