Suasana ruang makan di pagi hari

What I Talk About When I Talk About Kambing

Sidra
6 min readJun 30, 2024

Saya berlari menuju lokasi jemput bus pabrik karena bangun telat. Nafas saya tersengal-sengal dan setiap udara yang masuk hidung terasa menusuk dinding bagian dalamnya. Wajar saja, udara pagi itu sangat dingin, 1 derajat celcius. Hidung saya sampai berair karenanya.

Brengsek, batin saya. Ini semua karena saya tak bangun sebagaimana sebelumnya, sekira pukul 5 pagi. Dari jam segitu sampai waktu penjemputan bus sekitar pukul 6, biasanya, ada waktu cukup panjang buat buat gosok gigi dan cuci muka; menyiapkan bekal untuk sarapan dan makan siang; dan berjalan ke lokasi penjemputan yang jaraknya 750 meter dari rumah. Namun, pagi itu, ketika saya membuka mata, jam di HP saya sudah menunjukkan angka yang mencemaskan: pukul 5 lewat 45 menit.

Untungnya saya masih sempat mendapati bus yang sudah hampir berangkat dari lokasi penjemputan. Biasanya bus itu singgah tak sampai 1 menit. Ia hanya mengangkut pekerja pabrik barang sebentar lalu singgah ke lokasi penjemputan lain. Begitu terus sampai kami sampai tempat kerja.

Sesudah menaiki bus, saya mengatur nafas. Gerak dada saya mulai tenang seperti semula. Saya lantas membuka HP lagi dan mengetuk aplikasi Playbook, melanjutkan buku yang saya baca sejak beberapa hari lalu, What I Talk About When I Talk About Running karangan Haruki Murakami.

Sudah lama saya tak membaca karangan penulis, pelari maraton, sekaligus penyuka musik jazz itu. Dulu saya suka dengan caranya menulis kalimat panjang. Namun, setelah membaca empat novelnya, saya merasa gaya penulisannya begitu-begitu saja.

Hari itu, karenanya, saya memutuskan membaca karyanya selain yang fiksi, sebuah buku memoar tipis. Sebetulnya musabab saya membacanya bukan saja karena itu nonfiksi, tapi agaknya saya punya persoalan serupa dengan Murakami dan mungkin semua pelari maraton. Kami sama-sama melakukan kegiatan repetitif dan konstan yang melibatkan banyak kemampuan fisik. Murakami running, saya memotong tanduk kambing.

Baiklah, keduanya memang berbeda jauh. Tapi biarkanlah saya merasa mirip dengan orang keren di tulisan saya sendiri.

Alhasil, saat pertama kali membaca, saya menikmatinya. Dari buku itu saya juga menemukan mantra yang agaknya bisa saya ucapkan nanti ketika muak memotong tanduk. Ungkapan itu diucapkan seorang atlet maraton, ketika ditanya apa yang memutuskan ia terus berlari ketika capek tak tertahankan. “Pain is inevitable. Suffering is optional.”

Anjay, keren juga, gumam saya. Mari kita lihat bagaimana prakteknya.

***

Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, di minggu kedua bekerja, saya ditempatkan di bagian memotong tanduk. Entah kenapa.

Bagian ini, seperti menggantung kambing, terasa berat di awal. Alat yang digunakan untuk memotong tanduk ialah sebuah gunting mesin besar. Panjangnya sekitar satu meter. Beratnya entah berapa. Mungkin lebih dari 10 kg. Untungnya, gunting itu digantung menggunakan menggunakan alat yang saya tak tahu pasti itu apa. Mungkin katrol otomatis. Yang jelas, dengan alat itu, bobot gunting jadi terasa tak terlalu berat.

Gunting itu dilengkapi dua pelatuk. Satu di gagang depan, satunya lagi di gagang belakang. Tarik dua pelatuk itu bersamaan, dua pisau gunting bakal merapat dan tanduk pun jadi terpotong.

Kedengarannya mudah, tapi tidak saat saya pertama kali menggunakannya. Sebab bagi saya, bagian tersulitnya, bukan ketika saya menggunakan gunting itu buat memotong tanduk.

Begini. Kambing yang baru saja disembelih diantar ke tempat saya dengan posisi yang random. Kakinya yang digantung hanya satu dan karena itu, ia sering datang dengan posisi yang tidak pas. Kadang kepala kambingnya menghadap saya, kadang juga tidak sehingga saya harus memutarnya terlebih dahulu supaya bisa menggunting tanduknya. Proses bolak-balik kambing hingga memotong tanduk itu saya lakukan menggunakan gunting yang terus saya pegang. Saya tak boleh menaruh gunting tersebut hanya untuk memutar kepala kambing sebab itu bisa memperlambat proses kerja. Dan seperti pekerjaan lain di pabrik ini, jika lambat sedikit saja, garapan bisa lewat.

Tapi apa masalahnya kalau tanduk tak dipotong?

Jujur, saya sendiri awalnya tak tahu. Sebab baik tanduk maupun kepala kambing, dibuang ke tempat yang sama. Saya lantas berkesimpulan kerjaan saya ini tak terlalu berguna. Pikir saya, kalau kedua organ itu ujungnya dibuang, kenapa harus dipisahkan terlebih dahulu?

Perasaan tak penting itu terjaga hingga beberapa tanduk lewat dari gunting saya. Tak lama kemudian, saluran pembuangan tersumbat. Ternyata, saluran pembuangan kepala terlalu kecil buat dimasuki tanduk dan kepala yang masih utuh.

Karena itu, mesin penggerak kambing di Slaughter Floor berhenti beroperasi hampir satu menit — sampai saluran dibersihkan. Satu menit di pabrik, perlu kalian tahu, sangat berharga. Paling tidak itu penting buat pihak perusahaan. Waktu sesempit itu bisa dipakai buat memproses belasan hewan. Tapi karena mesin berhenti, yang lagi-lagi penyebabnya adalah saya, waktu itu terbuang sia-sia.

Tapi ya sudahlah, toh itu terjadi ketika hari pertama memegang gunting. Wajar saja.

Lagipula, di hari kedua, saya mulai terbiasa memegang gunting. Hari-hari setelahnya saya bahkan tahu mana tanduk yang keras dan lunak dan bagaimana cara memperlakukan berbagai jenis tanduk dengan tepat juga efisien. Sesekali saluran tersumbat, tapi kini mesin tak perlu diberhentikan sebab saya dan teman yang memenggal kambing bisa membereskannya dengan cepat.

Setelah beberapa hari, aktivitas membolak-balik kambing dan menarik pelatuk gunting seperti menubuh dalam diri saya. Lalu perasaan bosan pun tiba.

Setelah 2 minggu bekerja, saya pun mulai mafhum: tantangan terbesar di sini bukanlah beban kerjanya, tapi rasa bosan.

***

Perasaan itu kadang saya usir dengan dua cara. Pertama, menggunakan lagu yang diputar menggunakan speaker besar yang dibawa seorang pekerja. Biasanya speaker itu ditaruh di ujung Slaugther Floor, dekat tempat penyembelihan. Sejak memotong tanduk, saya bisa mendengar suara speaker itu cukup jelas, meski kebanyakan lagunya tak bisa saya nikmati. Lagu yang diputar seringkali lagu pop Barat, EDM, atau pop Indonesia yang dulu mungkin sering kalian dengar di Inbox dan Dahsyat.

Lagu-lagu itu bagus kalau didengar sesekali. Tapi kalau terus diputar selama 2 jam, bikin saya gerah. Andai saya jadi mayat kambing yang gelantungan di pabrik itu, saya pasti bakal hidup lagi dan menyeruduk speaker yang melantangkan lagu-lagu tersebut.

Namun tentu itu bisa bikin mengamuk pemilik speaker. Karenanya saya memilih opsi kedua: ngobrol dengan pekerja di sebelah saya, pria pemenggal leher kambing yang berasal dari Timor Leste. Mari kita sebut ia Guillotine.

Guillotine ini yang pertama kali mengajari saya memotong tanduk. Pada mulanya, ia memang bertugas memotong tanduk dan memenggal kambing sekaligus. Setelah beberapa bulan, kedua pekerjaan itu dipisah sebab, menurutnya, beberapa kepala sering terlewat. Tapi karena sempat mengerjakan kedua hal itu sekaligus, ia sangat ahli memotong tanduk dan memenggal kambing. Beberapa kali, bahkan, ia tak diizinkan untuk pindah posisi karena atasan belum menemukan orang yang mahir melakukan tugas tersebut selain dirinya.

Bersama Guillotine, saya membincangkan segala macam hal setengah berteriak, beradu dengan suara mesin dan speaker yang tak kalah kencang. Kami berbincang soal atasan yang kebanyakan protes, kelakuan konyol pekerja lain, atau rencana liburan yang lebih enak dibayangkan tapi menguras dompet kalau dilakoni betulan.

Alhasil, sebagaimana mendengar lagu pop, mengobrol begitu pasti ada batasnya. Ada saat ketika obrolan kami sudah habis dan memang lebih baik diakhiri sejenak.

Di saat-saat itulah perasaan letih dan kantuk makin sulit diabaikan. Saya lantas merindukan banyak hal: orang terkasih yang jauh, tempat-tempat yang jauh, apapun itu asal bukan di pabrik daging ini maupun di Bourke. Saya juga mulai bertanya-tanya kenapa saya memilih tinggal di sini, melakoni pekerjaan macam ini, pertanyaan-pertanyaan bajingan yang bikin pusing sendiri.

Saya jadi paham kenapa generasi muda mutakhir kerap mengidap gangguan mental. Segala macam kejadian di hidup mereka (juga saya), yang muncul bukan dari ruang kosong di kepala, dikecilkan jadi persoalan kedirian. Mereka juga tak lagi punya sandaran atau pihak yang bisa dimintai tanggung jawab sebab koneksi mereka dengan ‘dunia luar’ dipecah berkeping-keping macam pekerjaan tanpa makna di pabrik.

Menyadari ini bikin saya tak percaya dengan mantra Murakami. Suffering is optional? Opsional gundulmu. Daripada percaya mantra itu, saya memilih menangis mendengar lagu pop cengeng.

Saat itu lagu Geisha, “Jika Cinta Dia”, mengalun. Jujur, lagu-lagu macam ini memalukan buat saya kalau dinyanyikan di tempat umum. Tapi saya tak peduli. Di bagian reff, saya tiba-tiba menyanyi, tampaknya bikin Guillotine kaget. Dia kemudian menyahuti setiap penggal lirik yang saya rapal kencang-kencang.

JIKA CINTA DIAAAAAA

“Mantap Sidra!” sahut Guillotine.

JUJURLAH PADAKUUU

“Sidra, number one!” lanjutnya.

TINGGALKAN AKU DI SINI TANPA SENYUMANMU

“Uhuuuuyyy!”

Di teriakannya yang terakhir, tawa saya pecah.

--

--

Sidra

I share some of my thoughts and works here. You’re welcome