Tentang Shukumar, Laki-laki Problematik dalam A Temporary Matter — Jhumpa Lahiri
Sekira dua atau mungkin tiga minggu lalu, saya lupa tepatnya kapan, sebuah kicauan di Twitter menarik perhatian saya. Ia dilontarkan Fahri Salam, Pemred Project Multatuli. Twit itu semacam kilas balik “pencapaian” menyedihkan dalam hidupnya. Ia merupakan sebuah respons atas twit lain yang juga berisi kilas balik pencapaian. Betul-betul pencapaian: umur 18 kerja ini, umur 25 penghasilan sekian ratus juta, bla bla bla, omongan yang bikin hidupmu terasa busuk begitu lah. Nggak menarik dan nggak sedap dibaca. Yang menarik, Fahri Salam bilang, di umur ke-22, hidupnya agak hancur (barangkali hampir DO, saya lupa ia secara spesifik bilang apa). Tentu ada kronik kehancuran lain sebelum dan sesudah umurnya yang ke-22. Di tengah situasi itu, sastra, konon, menjadi penyelamatnya.
Umur saya juga 22 sekarang dan, tentu saja, pencapaian saya saat ini jauh dari imaji-imaji yang digambarkan omongan bau tai di atas. Tahun ini, saya baru sadar akan omongan seorang teman: Jogja telah melembagakan saya, kenyamanan di dalamnya mengharuskan saya menahan tiap-tiap penderitaan. Saya bisa gabut dan duduk di warung kopi tanpa juntrung yang jelas di kota ini. Dan bisa saja terus begitu sampai mati. Teman saya menyadarinya di tahun ketujuh perkuliahan, sekitar umur 24 atau 25. Sayangnya menyadari itu di umur 22, di malam menjelang lebaran ini, tak membuat saya merasa lebih beruntung.
Dengan perasaan ganjil dan nelangsa itu saya lantas memutuskan membaca karya sastra.
“A Temporary Matter”, salah satu cerpen Jhumpa Lahiri dalam kumcer Interpreter of Maladies, jadi pilihan saya.
Cerpen itu bercerita tentang sepasang kekasih nyaris kepala empat keturunan India di Amerika. Si laki-laki, Shukumar adalah akademisi yang sedang menulis disertasi tentang pemberontakan di India. Istrinya, Shoba adalah perempuan karir yang bekerja seperti kesetanan.
Anak mereka meninggal enam bulan sebelumnya, di momen-momen kelahirannya.
Mereka tentu saja sedih. Dan pascakematian anak pertamanya, kehidupan rumah tangga mereka tak pernah lagi sama. Shoba sibuk menenggelamkan diri dalam dunia kerjanya, sesekali ngegym. Shukumar, ah, dia laki-laki problematik.
Disertasi Shukumar, Revolts in India, terkesan gahar. Namun proses pengerjaan di belakangnya barangkali bisa bikin maskulinitas setiap laki-laki tersenyum sinis dengan empat jari kaki menutupi bibir.
Karir akademik Shukumar kebanyakan ditunjang oleh dukungan istrinya. Shoba bekerja, Shukumar seolah sibuk mengerjakan disertasi. Saat Shoba hamil, Shukumar pergi ke India untuk melengkapi data penelitian. Shukumar baru pulang justru di saat-saat paling mengenaskan: istrinya dalam kondisi kritis hendak melahirkan.
Shukumar datang dan sempat menengok bayinya. Kulit bayi itu kemerahan. Tubuhnya ringkih. Bayi itu punya penis.
Jenis kelamin bayi itu seharusnya jadi kejutan buat Shukumar dan Shoba. Secara sengaja, pasangan itu menolak untuk diberitahu dokter perihal jenis kelamin calon bayi. Pada akhirnya hanya Shukumar yang tahu. Shoba tak pernah tahu atau barangkali menolak untuk tahu. Kematian sang bayi lebih mengejutkan ketimbang urusan jenis kelamin.
Urusan jenis kelamin bayi baru bakal ketahuan oleh Shoba di akhir cerita, ketika ia dan suaminya melakukan permainan sepanjang rumah mereka mati listrik selama lima hari. Permainannya simpel. Di tengah kegelapan, mereka harus mengungkapkan sebuah rahasia yang tak diketahui oleh lawan bicara. Sesuatu yang tak pernah diungkapkan Shoba dan Shukumar satu sama lain. Permainan inilah pusat cerita dari A Temporary Matter.
Sebelum mengungkapkan rahasia tentang jenis kelamin bayi, Shukumar berkali-kali buat pengakuan konyol dan lucu.
Tapi sebelumnya, mari mendengar pengakuan Shoba. Di balkon, Shoba mengaku pernah menghabiskan malam dengan lelaki lain. Di ruang tamu, di hari yang lain ketika listrik masih mati, Shoba mengaku pernah menguntit buku telepon Shukumar saat mereka masih sepasang teman. Kala itu ia penasaran dan berharap dan terus bertanya-tanya dalam hati, “Apakah Shukumar menyimpan nomorku?”
Sementara itu, Shukumar justru menyingkap rahasia-rahasia yang bikin geli. Ia, misalnya, pernah menyobek kertas dari sebuah majalah yang berisi gambar gadis-gadis untuk disimpan dan dilongok ketika Shoba hamil. Ia juga pernah menjual sweater pemberian Shoba untuk mabuk di bar. Ia juga mengaku pernah menyontek saat ujian, ketika sang istri mendukung segala kegiatan akademiknya sungguh-sungguh.
Tokoh satu ini, menurut saya, memang agak polos dan tolol. Saya tak habis pikir kenapa ia membuat pengakuan yang justru menjatuhkan diri sendiri ketika pengakuan Shoba sudah membantingnya keras-keras. Bukankah pengakuan itu justru menyingkap kerapuhannya?
Di samping pengakuan tragis dan konyol mereka berdua, tentu ada hal lain yang menarik dari cerpen ini. Misalnya, adegan Shukumar menyiapkan rogan josh, masakan domba yang dibumbui rempah Kashmir, untuk dimakan bersama Shoba yang baru saja pulang kerja. Di tengah gelap karena mati listrik, ketika pernikahan terasa semakin hambar — mereka kerap saling menghindar di dalam rumah — Shukumar dan Shoba makan malam bersama. Diterangi lilin ulang tahun.
Itu cukup menghibur meski sebagian ceritanya menyedihkan. Cerita ditutup dengan kalimat yang tak kalah pilu: “ They wept together, for the things they now knew.”
Apakah sastra menyelamatkan saya? Entah, tapi setidaknya saya sedikit terhibur.