Tentang Sentimentalisme (Calon) Mayat–Menurut Penuturan Pembaca Amatir yang Masih Hidup di Dunia Brengsek

Sidra
7 min readMay 7, 2024

--

Saya membaca kumpulan cerpen (kumcer) Sentimentalisme Calon Mayat saat lelah membaca buku nonfiksi yang jumlah halamannya, rasanya, tak habis-habis. Mestinya ini jadi selingan dan hiburan. Dan nyatanya, kata, frasa, dan kalimat Sentimentalisme Calon Mayat menarik saya. Entah ini nasib untung atau buntung.

Sebab, meskipun kalimatnya menarik, topiknya terasa klise, yakni hal-hal (di)tabu(kan) saat Orde Baru: kematian, ketubuhan, kotoran (baca:tai), kegilaan, seksualitas, brutalitas, dsb. Nuansanya pun gelap dan absurd, meski sesekali sedikit humoris. Tipikal cerita yang pasti didoyani barisan edgy pembaca Lacan dan posmo²an. Tapi jujur, saya lelah kalau harus mendekati cerita dengan cara kelewat edgy dan serius macam itu, paling tidak sekarang.

Untungnya, ada sedikit insight yang pernah saya dapat dari Francise Prose dalam Reading Like a Writer soal beberapa cara penulis mendekati sebuah tulisan.

Seorang penulis muda, tutur Prose, pernah datang ke agen penerbit buat menyodorkan naskah. Agen itu bertanya, cerita macam apa yang menarik perhatianmu? Penulis muda menjawab, saya nggak peduli dengan subjek cerita. Yang membuat saya tertarik adalah kalimat.

Karena itulah, alih-alih fokus dengan topik dan subjeknya, pertama-tama, saya memilih menceburkan diri ke dalam kata, frasa, dan kalimat-kalimat kumcer ini yang ciamik soro! Salah dua frasa yang menurut saya kocak dan keren, selain frasa ciamik soro (keren abis — slang Tionghoa-Surabaya), adalah: (1) lonte lentur dan (2) teler literer. Sedap didengar ‘kan?

Itu baru dua (atau tiga) frasa. Sisanya, ada di bawah.

Beberapa petilan

Kalimat-kalimatnya yang tak kalah enak dibaca langsung saya temukan sejak halaman awal, di cerpen “Sentimentalisme Calon Mayat”. Ia bercerita tentang tokoh utama yang terobsesi dengan mayat.

“Sejak itu aku cinta kuburan. Bila matahari melelehkan sinar pada pucuk-pucuk bambu yang bergemerisik mencakari angin, bila kambing-kambing liar dan gembel-gembel berkaki lepra tak lagi bergentayangan, bila dalam kuburan tinggal aku dan setan-setan, aku jongkok memegang pagar makam bapak. Makam bapak jadi bolong-bolong setelah tanahnya sering kuambil pulang sejumput dua jumput untuk campuran kopi.” (“Sentimentalisme Calon Mayat”, hlm. 2–3)

Saking terobsesinya dengan kematian, ia jadi impoten di hadapan istrinya. “Kalau hidup hanya siksa, kalau harap selalu patah, kalau kau terlalu licik untuk dicinta, maka kucinta maut, Sita. Maut selalu pasti, selalu setia, tak jemu menunggu.” (“Sentimentalisme Calon Mayat”, hlm. 6)

Ada juga paragraf yang filmis lagi ngeri, ketika seorang konglomerat bangkit dari kuburan — sebelum diculik lantas berlanjut sebagai cerita konyol dan kocak. “Bulan menyeringai di ranting akasia. Djarot, demikian lelaki itu dikenal, terbangun dalam bebatan kafan anyir. Di balik kabut pekat, di balik unggun bunga, hanya tampak olehnya gugus makam. Kaki kanannya terantuk papan lembab persegi sehingga tahulah Djarot: gunduk tanah itu kuburannya sendiri.” (“Meteorit”, hlm. 9)

Kutipan di atas, mengingatkan saya pada adegan-adegan komik zombie dengan latar apokaliptik. Sungguh adegan yang mendebarkan sekaligus cool.

Berbicara soal adegan cool, mungkin tak ada yang mengalahkan satu petilan dari cerpen nomor 4, berjudul “Sukra”. Saat itu, Sukra si tokoh utama, sedang menyelinap di apartemen seorang perempuan untuk membunuhnya. Namun, sang target tetap bersikap dingin bak lantai marmer di gurun pasir.

“Perempuan itu berbusa sabun berendam di bak mandi ketika Sukra menyelinap ke kamar hotelnya. Melihat lelaki bertopeng karet membidik belati baja ke arahnya, perempuan itu tidak peduli. Dengan tenang dan mulia ia bangkit dari genangan busa sabun, lantas berkata: Tolong ambilkan odol dan sikat gigi di wastafel.” (“Sukra”, hlm. 29)

Barangkali, “Sukra” adalah cerita yang paling obskur dan absurd buat saya. Sebab ini bukan hanya tentang pembunuh bayaran. Cerita itu juga tentang dunia yang futuristik nan kocak, tapi juga murung dan gelap, sekaligus horor lagi sadis. Sungguh kalau bukan karena kalimatnya di atas, dan yang akan saya tunjukkan di bawah, saya bakal pusing membacanya.

Bagian futuristik dan kocaknya, misalnya, bisa kamu lihat di percakapan Sukra yang lagi frustasi dengan seksolog yang mewujud sebagai hologram. “Sukra, aku bersimpati kepadamu. Sumpah. Tapi, aku bukan produk serius. Aku lelucon pornografi sibernetik.” (“Sukra”, hlm. 30).

Adapun, kalimat-kalimat murung cerpen itu, agaknya diserap dari T.S. Eliot yang sempat dikutip terang-terangan di halaman 30: “Senja itu, seperti kata T.S. Eliot dalam sajak The Love Song of J. Alfred Prufrock, “terbentang di cakrawala bagai seorang pasien dibius di atas meja.””

Sementara itu, kalimat horor dan sadisnya, bisa kamu lihat di dua kutipan ini.

“Bertubi-tubi tubuh Sukra digasak pentungan tentara. Segenggam semut api dijejalkan ke pelupuk matanya, sampai berhambur mengantup wajahnya. Rambutnya dijambak hebat. Lehernya dibetot, dipelintir, dan diinjak. Zakarnya ditebas. Jasadnya dicampakkan ke pinggiran Kota Lama, di Tempat Pembuangan Akhir, tempatnya pemerintah kota mengasingkan para mutan, psikopat, penyandang HIV-AIDS dan pecandu narkotika.” (“Sukra”, hlm. 34)

“Berkafankan kabut merah, Kota Lama bergetar dalam oplosan jerit alarm pabrik, lolong sirene ambulans, dan dentam palu hidrolik menancapkan tiang pancang ke bumi. Bagai kena tenung, penduduk Kota Lama yang tidur serempak terjaga. Satu demi satu, mereka keluar rumah, gentayangan di jalan, menari telanjang, bermandi hujan. Hujan asam.” (“Sukra”, hlm. 35)

Tapi kalau bicara soal horor, saya kira tak ada cerpen yang lebih seram daripada nomor 6, berjudul “Tirai”. Cerita itu tentang seorang anak kecil yang dimutilasi, dilingkungi warga kampung berwatak psikopat, sehingga membikin bapaknya dihantui trauma — yah, agaknya kata ini cocok, meski cerpen ini diakhiri dengan twist. Coba saja simak kalimat-kalimatnya ini.

“Gadis cilik berumur lima tahun itu kini hadir sebagai potongan-potongan daging dan tulang, seperti salah satu bahan sop, yang biasa kaulihat di kulkas toko serba ada.” (“Tirai”, hlm. 60)

“Istriku tiba-tiba saja melemparkan sebuntal bola. Dengan kegesitan seorang penjaga gawang kelas dunia, bola itu kutangkap, Dep! Namun, astaga, itu bukan bola. Itu kepala Mimi, anakku.” (“Tirai”, hlm. 61)

““Apa kata-kata terakhir Mimi sebelum jadi tetelan?” sembur Tante Lisa, ketua arisan ibu-ibu di kampungku.” (“Tirai”, hlm. 62)

Orde Baru lagi nih?

Berdasarkan petilan di atas, mungkin kamu–yang belum membaca–akan menduga bahwa cerita ini diisi oleh kalimat-kalimat brutal, sensual, sesekali menjijikkan, yang dirakit dengan apik. Sesungguhnya itu juga yang saya rasakan, sekaligus menarik saya, hingga di bagian akhir, saya membaca cerpen panjang terakhir soal seorang sastrawan bernama Surabaya Johnny dan esai penutup dari Afrizal Malna.

Dalam cerpen “Surabaya Johnny”, segera terlihat bahwa cerpen-cerpen yang ditulis sebelumnya adalah upaya untuk melenggang bebas dari kediktatoran kata-kata ala Orde Baru yang serba formalistik, militeristik, kaku, dan tak lupa seksis juga misoginis.

Upaya itu direpresentasikan oleh usaha Surabaya Johnny, tokoh utama cerpen panjang terakhir, yang berusaha menyerap segala sumber literer di luar Orde Baru, yang menginspirasinya untuk menulis puisi-puisi tabu. Puisi yang sensual, salah satunya.

Begini puisi sensual yang sempat dituliskan Surabaya Johnny, berjudul “Anggoro Kasih”.

Rembulan tersengat rangsang!
bercadar daun-daun pohon ketapang
bersandar pada sarang semut rang-rang

saat ia ngumpet
ngempet
ngenes
ngintip Djarot & Surti
sejoli binatang t’lanjang
sejoli gembel menggelinjang
digenjot sengal-sengal gempal lokal coitus kekal
berkubang pasir comber pinggir kali, berk’ramas angin murni
hmmm…! wangi parfum Tai

Terjerat mantra pelet danyang lanang Kali Brantas, Soerti & Djarot
tersesat di labirin syahwat bejat mahalezat.

O, lenguh tubuh! O, Sari Rasa! Duh, lali jiwa!

kelon bersambut sengat
cupang berbalas kulum
getar bertukar denyut
kejang berjawab regang
kangen bersahut kesumat

“Sodoklah aku, Cak. Sampean kuganyang.”
“Sungguh sadis,” desismu, “surga k’lenjar ini.”
“Sungguh nikmat,” keluhku, “ambang ajal ini.”

Rembulan terkepung rangsang.
Pipinya merah bokong babi;
pipinya panas sambel t’rasi,

saat ia kepergok ngintip Djarot & Soerti,
saat ia dengan ngalem mengeluh, “Mengapa aku begini basah?”
Mereka iba dan berkata: “Ning mau kami gosok?”

Aduh-aduh-aduh aduh-duh! Mana tahan?

Rembulan! Bertobatlah! Kiamat dekat sudah.

Tapi–

“Panggil aku masturbasi,” katanya, rada-rada
murtad, sehabis tenggak segantang urine Setan.
Seperti ulat sekarat, tubuhnya berkelejat-kelejat.
pada geladak becek sebuah gubuk ringsek yang
bergidik di kolong jembatan

“Jamput!” jeritnya sebelum
semaput,
“orgasmeku tiba agak telat!”

N.B. Insiden ini, Masbro, pernah terjadi
dalam sebuah dongeng kacrut. Yakni, ketika
sang Penjahat Kelamin berhidung belang
sibuk menggendam si calon mangsa.

(sorry, layout aslinya nggak buruk begini.)

Puisi itu punya kesamaan nada dan suasana dengan kalimat-kalimat di cerpen lain. Mungkin dengan ini, kita bisa menyebut bahwa cerpen “Surabaya Johnny” adalah sebuah argumen untuk mempertebal usaha-usaha yang dilakukan cerpen sebelumnya, usaha untuk bebas dari rezim bahasa Orba.

(Mungkin juga dengan cerpen itu kita bisa menyebut bahwa tokoh fiktif Surabaya Johnny dan penulis Sentimentalisme Calon Mayat Sonny Karsono, merupakan orang yang sama. Atau mungkin salah satunya adalah alter ego (baca: second account) dari yang lain. Atau bisa jadi, seperti kata Afrizal Malna, cerpen itu “menandai batas pengaburan antara fiksi dan realitas; antara Johan Kartawijaya, Surabaya Johnny, dan Sony Karsono.” [hlm. 146]. Oh, atau mungkin strategi naratif dari cerpen ini bisa juga disebut Borgesian — tapi, yah, tahu apa sih saya soal itu?)

Rezim bahasa Orba, barangkali adalah satu topik yang nggak akan habis dibahas. Sama seperti dosa-dosa Orba lainnya. Barangkali, lauh mahfudz bahkan hanya berisi catatan Soeharto dan kawan-kawannya.

Namun, upaya pembebasan dari rezim bahasa itu, kapan sih berhasil? Ia sudah dilakukan berkali-kali. Bukan hanya dengan cara ciamik soro ala Sonny Karsono di cerpen ini, tapi juga dengan cara lain yang adiluhung sampai membosankan.

Nyatanya, kita tak bergerak. Reformasi telah gagal, Orba tak terkalahkan, dan dunia tetap saja brengsek. Melihat fakta ini saja sungguh bikin diri mau mampus.

Maka maafkan saya kalau hanya menikmati cerpen ini sebagai kalimat-kalimat murung, sensual, brutal, tapi juga cool (Toh, tulisan ini aslinya cuma kumpulan kutipan di notes). Saya sampai pada titik nadir dan bertanya: apakah Orba sebegitu digdaya atau kita serupa kesatria halu Don Quijote yang menggebuk kincir angin yang dikiranya seekor monster?

Alhasil, kalau boleh berharap, saya cuma punya satu harapan yang mungkin terkesan teknokratis dan instrumentalistik seperti watak rezim Orba: buku-buku macam ini terbit dengan jumlah jutaan eksemplar, tersebar di daerah-daerah tak terjamah, dibaca paling tidak 50% + 1 rakyat Indonesia (menunggu negara mengakui kebrengsekan Orde Baru bikin capek ‘kan?). Dengan demikian, hiduplah Indonesia Raya!

--

--

Sidra

I share some of my thoughts and works here. You’re welcome