Menjadi Pekerja Migran

Sidra
5 min readAug 3, 2024

Sejak memegang WHV dan bekerja di Australia, saya sering ditanya beberapa hal oleh teman dan kenalan. Pertanyaannya merentang dari bagaimana mendapatkan visa tersebut, apa saja persyaratannya, bagaimana cara mencari kerja, dan lain sebagainya. Namun, di antara berbagai pertanyaan itu, ada satu yang selalu bingung saya jawab: soal penghasilan.

“Berapa gajinya?”

Sebetulnya, saya bisa saja menjawabnya dengan terus terang. Hanya saja, saya kira, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan selain gaji ketika memutuskan kerja di Australia.

Satu hal yang sering saya obrolkan (baca: pusingkan) dengan beberapa teman, yang rata-rata masih menjalani tahun pertama di Australia ialah perkara setelah visa berakhir. Pekerja migran di sini mungkin bisa mengumpulkan uang relatif lebih banyak ketimbang di negara sendiri. Tapi uang itu bisa habis. Dan kesempatan untuk mendapatkan uang sejumlah itu barangkali tak akan datang lagi nanti.

Memang, ada pekerja migran yang mengumpulkan uang begitu banyak untuk modal bisnis.

“Tapi bisnis juga nggak semudah itu. Pasti ada boncosnya juga,” kata seorang teman.

Sepakat, pikir saya. Tidak cuma boncos malah. Bukan tak mungkin bisnis tersebut bangkrut. Modal yang susah-payah dikumpulkan dari kerja kasar selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, lantas menguap begitu saja.

Sementara itu, kembali jadi pekerja di negara sendiri bukan pilihan yang mudah buat sebagian pekerja migran. Mungkin itu mudah dibayangkan sebagai opsi, tapi saya belum menemukan orang yang mantap mengambil pilihan itu selama di Australia.

Dulunya, saya juga mengira itu bukan pilihan yang sulit. Tapi kini saya memaklumi mereka yang tak mau mengambil pilihan itu. Mereka, bagaimanapun, sudah menghabiskan bertahun-tahun di negara orang. Umur mereka semakin tua. Dan saya mengimani umur bukan cuma angka. Umur seringkali berkaitan dengan tanggung jawab yang semakin besar dan pilihan (kerja) yang semakin sempit. Apalagi di Indonesia, beberapa pekerjaan masih sering diskriminatif untuk orang-orang yang sudah berusia di atas 30 tahun.

Saya tak sedang bilang kalau gaji yang didapatkan oleh pekerja migran tak berarti karena hal di atas. Sama sekali tidak.

Biar lebih jelas, saya terangkan sedikit saja soal gaji ini. Sebab pekerja (migran) di Australia kebanyakan bekerja kasar (low-skilled), gaji mereka, sejauh yang saya telusuri, tergantung oleh status kerja — yang kemudian punya standar upahnya masing-masing. Status kerja di Australia sendiri ada tiga: penuh waktu, paruh waktu, dan kasual.

Pekerja penuh waktu dan paruh waktu tak jauh beda. Mengutip laman seek.com.au, kedua jenis ini punya jam kerja tetap, dan mendapatkan hak-hak normatif, katakanlah cuti. Apa yang membedakan pekerja penuh waktu dan paruh waktu hanya jam kerjanya. Pekerja penuh waktu, paling minim, bekerja selama 38 jam seminggu, sedangkan pekerja paruh waktu kurang dari itu.

Sementara itu, pekerja casual tak punya hak normatif seperti pekerja yang disebutkan sebelumnya. Mereka, misalnya, bisa saja mengambil cuti atau tak bekerja karena sakit. Tapi mereka tak akan mendapatkan bayaran di hari itu. Itu baru perkara cuti, belum hak-hak yang lain. Hanya saja, sebagai ganti dari tak adanya hak-hak tersebut, upah minimum pekerja kasual lebih besar 25% daripada pekerja penuh atau paruh waktu.

Nah, jadi berapa gajinya?

Upah minimum pekerja penuh dan paruh waktu di Australia sendiri, sejak 1 Juli 2024, adalah $24.10 per jam atau $915.90 per minggu. Kalau dirupiahkan jadi sekitar 10 juta. Adapun, pekerja kasual, upah minimumnya, sekitar $30.10 per jam ($24.10 + 25%).

Katakanlah seorang pekerja migran full-time memperoleh sekitar $900 per minggu. Dan setiap minggu juga ia menghabiskan sekitar $400 untuk makan, sewa tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya. Apakah itu artinya ia bisa menabung $500 per minggu? Tidak juga, karena pekerja migran masih perlu membayar pajak yang, rasa-rasanya, tak terlalu berdampak buat mereka— apalagi pemegang WHV yang membayar pajak lebih banyak daripada penduduk Australia tapi tak bisa mengakses medicare (baca: jaminan kesehatan).

Masih adakah yang bisa ditabung? Banyak. Masih oke lah.

Tapi benar kata Spider-Man: “With great power comes great responsibility.” Apalagi, kalau kamu berasal dari tempat bobrok macam Gotham City.

Saya cerita sedikit. Di pabrik daging tempat saya bekerja, ada banyak sekali orang Timor Leste. Tak hanya di sini, banyak juga orang Timor Leste yang bekerja di pabrik daging lain, di kebun, dan lain sebagainya. Mereka berangkat ke sini menggunakan visa kerja temporer (visa International Relations subclass 403). Kata seorang teman dari Timor Leste, mungkin dengan sedikit melebih-lebihkan, visa ini jadi incaran setengah dari seluruh populasi mereka yang berusia produktif.

Kebanyakan dari mereka sudah punya istri dan anak. Tapi yang mereka hidupi bukan cuma keluarga kecilnya itu. Mereka juga menghidupi kerabat di kampung. Seorang teman bahkan pernah pinjam rekening saya buat mengirim uang ke kerabat jauhnya yang ada di Indonesia. Mereka terpisah sedari lahir sebab kerabatnya menikah dengan tentara Indonesia dan kini tinggal di Makassar.

Kenapa bisa mereka sampai begitu? Mungkin karena ikatan kekerabatan yang begitu kuat, mungkin juga begitulah 4s1@n V@Lu3, tapi kemungkinan besar karena negara tak hadir menyediakan infrastruktur sosial dan fisik yang baik. Biaya kesehatan mahal, pendidikan mahal, urus anak mahal, transportasi publik bapuk, gaji murah. Buajingan.

Nahasnya, negara kita, Indonesia, tak jauh beda nasibnya. Kita tak bisa terlalu banyak berharap ke pemerintah buat menyediakan itu semua, sehingga satu sama lain harus merawat mati-matian.

Intinya, pekerja migran barangkali punya uang relatif banyak, tapi banyak persoalan keuangan yang ujungnya mau tak mau ikut diurus.

Mungkin karena itu, daripada pulang ke Indonesia, banyak pekerja migran di Australia memperjuangkan status kependudukan tetap. Dengan status permanen, mereka tak perlu memusingkan perkara setelah visa berakhir.

Tapi perlu diketahui juga, memperjuangkan status permanen itu melelahkan dan berliku. Saking berlikunya sampai topik ini ditulis jadi satu buku oleh jurnalis Peter Mares, berjudul Not Quite Australian.

‘Not quite Australian’ adalah sebutan Mares untuk pekerja migran yang tinggal bertahun-tahun, berjuang mendapatkan status kependudukan tetap, tapi malah berujung ‘main ular tangga’. Mereka loncat dari satu kotak ke kotak lain, satu jenis visa ke jenis visa lainnya, satu kerjaan ke kerjaan lainnya, sampai akhirnya melalui garis finish — atau justru terperosok ke garis start. Not quite Australian ini bukan cuma Working Holiday Maker, melainkan juga 200.000 orang Selandia Baru yang tak punya skill mumpuni dan uang cukup untuk mengajukan status kependudukan tetap itu; pencari suaka atau pengungsi yang menggunakan bridging visa atau protection visa; pemegang student visa, skilled visa 457, dan visa-visa lain.

They are the settlers who remain unsettled,” kata Mares di kata pengantar bukunya itu.

Adakah dari mereka yang berhasil? Ada, pasti. Tapi saya tak tahu jelas berapa persentasenya.

Satu hal yang saya ketahui, sejak 1996, makin banyak pekerja migran yang berdatangan di Australia. Namun, banjir tenaga kerja itu justru berbanding terbalik dengan posisi mereka yang semakin melemah. Hal ini diungkapkan Charles F. Wright dan Stephen Clibborn dalam artikelnya, “A guest-worker state? The declining power and agency of migrant labour in Australia”.

Wright dan Clibborn mengemukakan, pekerja migran setelah tahun 1996 berada di posisi lebih lemah berdasarkan empat ukuran: residency status, mobility, skill thresholds, dan institutional protection. Ukuran pertama, residency status, merujuk pada peluang pekerja migran tersebut mendapatkan status kependudukan tetap atau bahkan menjadi warga negara Australia. Perbincangan soal ini, meski tak terkesan nasionalistik, penting bagi sebagian pekerja migran sebab bertalian erat dengan institutional protection, jaminan kesehatan, kesetaraan di depan hukum dan hak-hak lainnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Persoalan-persoalan ini semua tentu tak menihilkan privilese yang didapatkan pekerja migran, semisal gaji besar itu tadi. Tapi segenap persoalan di atas, dan mungkin yang belum saya ketahui, agaknya jadi informasi tambahan penting sebelum mengambil keputusan menjadi pekerja migran. Sebab, bagaimanapun, meminjam lirik Silampukau, setiap belahan dunia punya luka masing-masing. Mungkin rasa sakitnya beda. Tapi ia ada.

--

--

Sidra

I share some of my thoughts and works here. You’re welcome