Melihat Pemotong Tanduk Bekerja

Sidra
8 min readJul 14, 2024

--

Senin itu, ketika matahari masih belum juga terlihat, ia berangkat ke lokasi bus menjemput pekerja pabrik daging. Kalau tak salah, itu sudah minggu ketiga ia bekerja sebagai pemotong tanduk. Dan entah kenapa, kakinya kini terasa semakin berat buat bekerja sementara mulutnya semakin ringan buat mengeluh. Di minggu pertama, sebetulnya, ia benci mendengar keluhan. Pikirnya, seorang pekerja hanya boleh mengeluh ketika diperlakukan tidak adil, bukan ketika mengerjakan apa-apa yang sudah seharusnya ia garap. “Kalau begitu saja dikeluhkan,” pikirnya. “Mending pulang aja dari awal.”

Setelah dipikir-pikir, kata-kata itu ia rasa sangat tolol. Mengeluh karena kerja itu wajar. Lagipula, mana ada manusia yang suka kerja? Yang pura-pura suka tentu ada. Tapi coba saja—kalau memang ada—ia tawarkan dunia di mana setiap orang tak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Di dunia itu, bayangkan, semua orang bebas mengaktualisasikan dirinya tanpa memusingkan tagihan listrik dan isi dapur. Semua orang waras mesti pengin dunia macam itu. Pun ia pikir semua orang, sejatinya, mengusahakan dunia itu: entah dengan cara pensiun dini atau menyulut revolusi.

Sayangnya, dunia ini kelewat runyam. Sementara itu ia merasa semenjana harus memikirkan itu ketika berangkat kerja. Kalau begini terus bisa-bisa ia menggunting lehernya sendiri alih-alih tanduk kambing.

Tak lama setelah duduk diam di bus sambil membaca satu esai, ia sampai di pabrik. Ia turun dari bus sambil mengucapkan kalimat manis ke supir yang sudah jadi template buatnya. “See you, have a good day.” Kadang-kadang supir bus itu membalas, tapi kali ini ia tak peduli apapun respons supir itu. Ia turun setelah mengucapkan kalimat itu, lalu jalan dari parkiran menuju pintu pabrik.

Semua orang jalan bergegas. Beberapa di antaranya terlihat berlari. Alasannya, tak lain dan tak bukan supaya mereka tak perlu mengantri panjang-panjang buat mengambil seragam kerja. Pada mulanya, pemotong tanduk itu juga tak mau kalah cepat dibanding yang lain. Tapi pagi itu ia terlampau malas. “Antri panjang sikit nggak apa-apa lah. Toh, tadi di rumah sudah sarapan,” pikirnya.

Setelah antri buat mengambil baju, ia mendapati Lunch Room sudah ramai. Semua orang menghabiskan sarapannya di sana sebelum bekerja. Ia sendiri memilih tak berlama-lama di sana, sekadar singgah menaruh tas di sebuah rak di pojok ruangan, lanjut jalan melalui lorong di depan Lunch Room, lantas berbelok ke ruang ganti.

Di ruang ganti ia melepas baju dan sepatu yang ia kenakan dari rumah lalu menaruhnya ke dalam loker. Ia lantas memakai satu set baju dan celana putih. Tak lupa ia mengenakan sepatu boot kekecilan—yang baru ia sadari setelah dua minggu bekerja hingga kakinya lecet—di bawah loker. Terakhir, ia mengenakan penutup kepala dan wajah. “Sarung tangan pakai nanti sajalah pas mau masuk lokasi,” batinnya. “Lebih baik sekarang sambut panggilan alam dulu.”

Ia pun pergi ke toilet lalu berdiri di hadapan urinoir besi tanpa sekat di salah satu sisi ruangan. Pada mulanya ia merasa canggung buang air di situ. Karenanya ia selalu memilih buang air di pojok kiri, tempat yang paling tak bisa diintip. Pojok kanan masih bisa diintip sebab terletak bersebelahan dengan pintu. Sementara itu, bagian tengah, tak pernah ia pakai selama hari-hari pertama bekerja karena sudut intip yang terlalu luas. Tapi kini ia tak peduli. Ia pilih tempat yang kosong saja.

Selepas panggilan alam selesai ia mencuci tangan lalu keluar dari toilet. Ia melangkahkan sepatu kanannya terlebih dahulu saat keluar toilet, bukan karena sunnah, melainkan untuk mengambil sarung tangan kain yang ia selipkan di sana sebelumnya. Sambil berjalan ke Slaughter Floor, ia memakai sarung tangan, dan membayangkan dirinya seperti karakter utama di gim GTA San Andreas—macam habis diringkus polisi tapi masih dibiarkan hidup dan dibuang di pinggir jalan. Tiba-tiba kalimat karakter utama gim itu terngiang. “Shit, here we go again.”

Dari toilet, Pemotong Tanduk itu berjalan melalui sebuah lorong dan memasuki ruangan tempat pekerja membersihkan diri sebelum memasuki Slaughter Floor. Biasanya di ruangan itulah ia dan buruh lainnya menyimpan apron dan helm. Di sana juga ada sarung tangan karet buat melapisi sarung tangan kain dan mesin sikat otomatis untuk membersihkan sepatu. Semua alat itu harus dikenakan dan digunakan supaya pekerja masuk Slaughter Floor dalam keadaan aman dan steril. Tentu ia tak tahu apakah dirinya benar-benar aman dan steril setelah mengenakan dan menggunakan semua alat-alat itu. Ia hanya menjalaninya sebagai rutinitas yang semakin lama semakin terasa tak berarti. Tapi apa mau dikata, itu semua tetap ia lakikan dan ia lanjut berjalan menuju pintu Slaughter Floor.

Pintu ia buka dan suara gantungan yang terus berjalan terdengar nyaring. Bunyinya seperti dua besi yang saling menggetok tanpa henti. Pandangannya menyapu ruangan dan seperti biasa, belum banyak orang yang masuk Slaughter Floor.

Memang jam masuk dan keluar setiap pekerja di Slaughter Floor berbeda-beda. Pekerja yang jam masuknya paling awal adalah mereka yang ngetem di pos penyembelihan. Biasanya ada tiga orang yang bekerja di tempat itu dan masing-masing punya tugas yang berbeda. Salah satunya bertugas menarik hewan dari semacam jendela besar yang terhubung dengan Stock Yard. Satunya lagi menarik hewan dari petugas pertama lantas membaringkannya dengan seksama. Dengan demikian, pekerja terakhir bisa menggorok sambil menghadap kiblat dan dengan khusyuk mengucap bismillah.

Pekerjaan pertama dan kedua itu dikenal sebagai yang paling berat di Slaughter Floor. Bayangkan saja, mereka harus menarik, membaringkan, dan memegang hewan yang masih hidup. Sudah begitu, setelah hewan digorok, mereka juga harus mengaitkan kaki hewan itu—yang bobotnya masih utuh—ke gantungan yang terus berjalan di jalur yang mengular di langit-langit Slaughter Floor.

Kalau pekerjanya tak kuat, ada tanda yang sangat bisa dilihat. Yakni, gantungan kosong yang mengisi celah antara satu hewan dan hewan lain. Celah itu mulanya sangat disenangi oleh Pemotong Tanduk dan mungkin pekerja-pekerja lain. Sebab celah itu jadi waktu buat beristirahat meski hanya beberapa detik.

Namun, bagi pekerja di pos penyembelih, celah jadi semacam tanda kelemahan. Sekali waktu, Pemotong Tanduk itu bertemu dengan pekerja dari pos penyembelih di ruang ganti saat istirahat. Bukannya terlihat capek, pekerja dari pos penyembelih itu terlihat sangat bangga lalu berujar, “You saw how I did my work? No gaps.”

Adapun, tempat kerja Pemotong Tanduk itu tepat berada setelah pos penyembelih. Karenanya, ia biasa masuk lebih awal dibanding banyak pekerja lain.Seperti yang Pemotong Tanduk itu barangkali sudah ceritakan sebelumnya: di sebelahnya, ada seorang pemenggal yang ia panggil Guillotine. Dengan Guillotine itulah ia kerap mengobrol ketika bekerja. Namun, pagi itu, ia menyapa ala kadar lalu bekerja dalam diam. Ia memotong tanduk dengan seksama. Hari itu kambing-kambing besar dengan sepasang tanduk panjang seperti setan muncul lebih banyak tak seperti biasa. Kedua ujungnya runcing, menjulang ke sisi kiri dan kanan, seolah saling menolak. Untuk tanduk macam ini, Pemotong Tanduk itu tak bisa menggunting satu pasang sekaligus. Ia harus mengguntingnya satu per satu supaya senjatanya tak rusak seperti hari pertama.

Sesekali, ada satu tanduk yang terlewat tapi tak apa. Asal satu tanduk sudah terpotong, saluran pembuangan pastilah tak tersumbat. Daripada repot-repot memotong tanduk kedua, ia memilih menggarap kambing lain yang datang bersusulan.

Setelah sekian jam bekerja dalam diam, ia mulai angkat bicara ke teman di sebelahnya. Basa-basi saja sebenarnya. Ia mengaku heran dengan tubuhnya yang senantiasa kerempeng meski porsi makannya meningkat jauh sejak bekerja ke pabrik kambing. Basa-basi.

"Ya nge-gym," jawab Guillotine pendek.

"Ada cara lain? Gym jauh dari rumahku," Pemotong Tanduk itu ngeles.

Guillotine lantas berpikir sejenak, lalu mencetuskan ide yang sejatinya kerap diomongkan kanal YouTube seputar fitness. "Olahraga di rumah. Push up 30 kali setelah bangun dan sebelum tidur," katanya.

"Oh, gitu."

"Iya, jangan lupa salat juga."

Itu pesan Guillotine yang terus diulang-ulang sejak hari-hari pertama mereka berkenalan: sering-seringlah beribadah supaya jauh dari sifat iri dan dengki.

"Nggak usah banyak-banyak. Paling tidak sebelum dan sesudah tidur aja," katanya.

"Oh, Guillotine," pikir Pemotong Tanduk. "Bapakmu kombatan Fretilin sedang kakekku tentara. Lucu sekali hal yang pertama kita sepakati justru ketaatan pada agama."

Jam terus berputar dan Pemotong Tanduk berusaha mengacuhkannya meski sesekali pabrik berhenti bekerja karena di sudut lain Slaughter Floor ada yang terhambat kerjaannya.

Di detik-detik ketika pabrik berhenti bekerja, segala macam gambaran di pabrik, terasa semakin jernih.

‐ Jam dinding di atas pos penyembelih

- Sebuah kotak, di dekat tempatnya berdiri, berisi shower untuk membersihkan gunting yang ia pakai.

- Kambing di hadapannya yang digantung dalam posisi terbalik.

- Lehernya yang menganga penuh darah.

- Ujung kepalanya yang sudah rata karena dipotong bersamaan dengan tanduk.

- Otaknya terlihat.

Semua gambaran itu, cepat atau lambat, bakal berlalu. Bersamaan dengan mesin penggerak gantungan yang kembali bergerak. Dan semua orang kembali bekerja.

Menjelang sore, bagian favoritnya tiba: domba. Ia suka domba sebab kebanyakan tak punya tanduk. Kalaupun ada, tanduk domba biasanya berbentuk melingkar sehingga tak berpotensi menyumbat saluran pembuangan—tak seperti tanduk kambing yang bentuknya memanjang ke kiri dan kanan.

Maka dari itu pula, setiap domba datang, ia dapat tugas lain: mensterilkan beberapa alat di pabrik dengan disinfektan. Pasalnya, alat yang baru saja dipakai buat mengolah kambing tak bisa dipakai langsung buat menggarap domba. Begitu juga sebaliknya.

Apa yang membuatnya menyukai pekerjaan ini, selain mudah, ialah karena ia bisa keliling dan menyaksikan semua jenis pekerjaan di Slaughter Floor. Setidaknya, itu yang ia pikirkan ketika pertama kali ditugaskan mensterilkan beberapa alat di Slaughter Floor. Lama-lama, seperti yang sudah-sudah, ia merasa bosan juga. Sekali waktu, supervisor yang sedang berkeliling menyapanya ketika sedang menyemprot disinfektan. "Easy money!"

"Yeah," jawabnya pendek, lalu ketawa karier.

Semua alat sudah steril. Domba di pos penyembelih ternyata juga sudah habis. Ia pun keluar Slaughter Floor, bersih-bersih helm dan apron, lalu mengganti baju di ruang ganti.

Ia kini menunggu bus di parkiran depan pabrik. Di waktu-waktu seperti ini, semua orang terlihat riang, tak terkecuali Pemotong Tanduk. Langit sore tampak begitu cerah. Apa yang perlu dilakukan, sesampainya di ruma, tinggal istirahat. "Oh iya, push up jangan lupa," bisik Pemotong Tanduk ke dirinya sendiri.

Usai diantar bus ke pusat kota, cahaya di wajah pekerja-pekerja itu belum juga terlihat redup. Beberapa dari mereka singgah ke supermarket terlebih dahulu buat belanja kebutuhan bulanan atau mingguan atau sekadar jajan kudapan. Pemotong Tanduk jarang singgah ke supermarket, kecuali ketika tembakaunya sudah habis. Waktu untuk belanja makanan, cemilan, dan kebutuhan lain, baginya, harus bersamaan dengan waktu membeli tembakau. Sekali kesempatan, ia lupa membeli kertas usai membayar kebutuhan mingguan di kasir. Ia baru sadar kehabisan kertas ketika sudah sampai di rumah, ketika sudah berjalan hampir 1 km. Alih-alih membiarkan tubuhnya yang kelelahan beristirahat, ia kembali ke Supermarket hanya untuk membeli kertas.

Sesampainya di rumah, ia langsung melinting sebatang tembakau lalu membakarnya di halaman rumah. Ia tak bisa merokok di dalam rumah sebab takut mengganggu penghuni lain. Kadang-kadang, situasi ini menyebalkan buatnya. Terutama, ketika musim dingin seperti sekarang. "Yah, mau bagaimana lagi," gumamnya.

Ia biasa memanaskan pizza beku yang ia beli di hari-hari sebelumnya buat makan malam. Setelah makan, ia mestinya mandi, tapi menundanya buat membakar satu batang rokok lagi. Kini, malam semakin dingin tapi ia berusaha menahannya. Kapan lagi bisa merokok kalau bukan sepulang kerja?

Alhasil, ketika ia masuk rumah, kotak bekal kotor yang ia bawa kerja menunggu buat dibersihkan. Kotak makan yang ia bawa tak banyak. Paling banyak cuma tiga, tapi itu cukup buat bikin cahaya kegembiraan sepulang kerja sirna dari wajahnya. Sambil bersungut-sungut ia cuci kotak makan itu, lalu memasukkan nasi lauk dan kudapan ke kotak yang berbeda.

Waktu mandi pun tiba. Seharusnya, bagian ini cukup menyenangkan buatnya. Menghangatkan diri di bawah shower sepulang kerja di musim dingin pastilah menyenangkan. Setelah memasuki kamar mandi, ia memutar keran shower lalu mengecek seberapa panas air yang keluar darinya dengan ujung jari. Namun, segera setelah keluar kamar mandi, ia sadar malam semakin larut. Sudah jam 8. Rasa kantuknya pun mulai datang.

Push up 30 kali bagaimana? Oh, tentu saja tak ia lakukan. Kejadian macam ini terus berulang selama seminggu di hidupnya, kecuali hari Jumat. Ia menyempatkan diri buat push up 30 kali. Tapi niatnya sudah berubah. Ia olahraga bukan buat sehat, bukan juga buat menambah massa otot.

Ia push up supaya aktivitas itu bisa jadi gimik di tulisan ini.

--

--

Sidra

I share some of my thoughts and works here. You’re welcome