Harus Ada Sesuatu di Hari Libur, tapi Apa?

Sidra
5 min readJul 7, 2024

--

Piknik di pinggir Darling River.

Kalau ada satu hal yang saya rindukan selama di Bourke maka itu adalah terjaga sampai larut malam. Saya tak bisa lagi melakukan itu sebab setiap hari, terutama di hari-hari kerja, waktu hanya tersisa untuk sedikit hal.

Seperti yang saya singgung di tulisan sebelumnya, saya sampai rumah sepulang kerja sekitar pukul 5 atau 6. Sesampainya rumah, kadang saya cuma sempat merokok, mandi, makan malam, lalu menyiapkan bekal untuk kerja besoknya. Malam memang masih panjang, tapi kantuk saya tak kalah berat.

Dan karena itulah kadang-kadang ada perasaan tak terima yang hinggap di kepala saya. Saya dulu biasa tidur larut. Paling tidak pukul 12 malam. Sepulang kerja, di Jogja, saya kadang masih menyempatkan diri singgah ke warkop. Kenapa sekarang, di Bourke, jadi begini?

Mungkin perasaan tak terima itu juga yang mendorong saya mengambil keputusan aneh menurut beberapa teman. Setiap Jumat malam sampai Minggu sore, saya tak mau menghabiskan waktu hanya dengan istirahat. Harus ada 'sesuatu' di hari libur, tapi apa?

Beberapa teman yang memilih untuk mengistirahatkan badan belaka di hari libur mungkin punya banyak alasan masuk akal. Pertama, selama 5 hari kerja, badan memang selalu terasa pegal. Tak ada momen yang lebih pas untuk menghilangkan pegal itu selain Sabtu dan Minggu.

Kedua, tak ada apa-apa di Bourke. Setidaknya itu dugaan saya saat pertama kali ke sini.

Bagaimana tidak, di sini hanya ada empat tempat nongkrong. Salah dua di antaranya adalah kafe yang hanya buka sampai pukul 2 siang. Buat nongkrong malam-malam, biasanya orang-orang memilih menghampiri restoran Port of Bourke atau pub bernama Bourke Bowling Club.

Mungkin ada tempat lain yang bisa dikunjungi satu dua kali. Katakanlah Bourke Wharf Park, Fred Hollow Cemetery, Poet's Corner, dan situs-situs sejarah lain yang tak akan terlintas di kepala untuk saya datangi kalau tidak gabut.

Mungkin akan menarik mengunjungi tempat itu berkali-kali kalau saya mendalami konteksnya. Tapi sungguh, saat saya mengunjunginya terakhir kali, saya hanya manggut-manggut seperti saat saya menonton wayang.

Singkatnya: nggak relate, cok!

Mungkin hari-hari di Bourke saya tak akan terselamatkan kalau bukan satu hal yang mungkin terdengar sangat klise: teman (sebenarnya ada Netflix dan hiburan online lain, sih, tapi saya pilih ceritakan soal teman saja biar dramatis).

Setiap akhir pekan selalu ada undangan dari seorang teman baik untuk main ke rumahnya. Teman itu bernama Bang Febri. Setiap malam Minggu, ia biasa bikin makanan istimewa—paling tidak buat saya yang masak sop saja bisa gagal. Dia pernah bikin sate kambing bumbu kacang, es buah, mie godok, dan lain sebagainya.

Tak cukup itu, kemarin dia ajak saya 'piknik' di salah satu sisi Darling River yang terletak di tengah hutan. Sekitar 25 km dari rumah saya.

Kami disopiri seorang warga lokal bernama Shane, bersama satu lagi orang Indonesia dan seorang pemuda asal Jepang. Belakangan, ada dua laki-laki asal Timor Leste yang menyusul.

Di pinggir sungai itu, kami memancing. Tepatnya, Shane dan dua kakak-kakak Timor Leste itu memancing, sedang kami jadi penonton. Sebetulnya Bang Febri juga ikut memancing, sih, tapi tak ada yang dia dapat selain lumpur. Untung saya cukup tahu diri buat tak mengejek.

Menurut Shane, sungai tempat kami memancing sepi ikan. Kendati demikian, ada empat ekor yang kami dapat. Mungkin masing-masing ukurannya sekira satu lengan bawah orang dewasa. Cukup besar.

Ikan pertama yang kami dapat.

Ikan-ikan itu kami marinasi dengan lemon saja, lalu kami panggang di atas api unggun.

(Shane yang menyalakan api itu, setelah kami mengumpulkan beberapa daun, ranting dan batang pohon yang sudah kering. Sebelum menyalakan api, Shane tampak pengin mengetes saya. "Show me how you make fire."

"Anjing, sepele kali ini bule," pikir saya.

Tapi alih-alih mengiyakan tantangannya, saya malah kepikiran hal receh. Pengin sekali saya teriakkan di kupingnya, "MENYALAAA ABANGKUUU," tapi saya urungkan niat itu.

Sudahlah, biar dia saja yang bikin api.)

Tak cuma ikan, kami juga memanggang ayam yang kami beli dari supermarket dan memakannya bersama nasi goreng yang dibikin Bang Febri dari rumah.

Kami makan-makan, mancing, nyemil, ngerokok dan ngobrol ngalor ngidul di pinggir sungai itu dari pukul setengah 12 siang sampai jam 4 sore.

Wedyaaannnn.

Sepulang dari tempat itu, sebenarnya saya mau langsung lanjut nongkrong di rumah Bang Febri. Orang di rumahnya biasa masak-masak dan makan bersama setiap Sabtu malam. Dia ajak saya ikut makan dan bantu-bantu memasak.

Namun sepulang piknik, badan saya sudah tak tahan. Mungkin urusan menghibur diri dan asyik-asyikan tak perlu dipaksa. Saya pilih istirahat sebentar di rumah dan datang agak telat ke acara makan-makan. Tidak apa-apa, kata mereka.

Sesampainya di rumah, saya mengeluarkan kursi dari ruang makan ke halaman dan ikut merokok bersama seorang teman yang sudah sedari tadi di sana. Teman itu, belum lama ini, datang ke Bourke dari Sydney. Ia juga hendak bekerja di pabrik daging, tapi masih menunggu panggilan.

Poinnya: dia bawa rokok Surya yang ternyata dijual di salah satu toko Indonesia di Sydney dan beberapa oleh-oleh lainnya. Saya coba cicipi oleh-oleh itu, lalu melanjutkan menikmati langit sore.

Kini saya mengenakan headphone dan mendengarkan lagu-lagu Pink Floyd secara acak. Lama kelamaan, lagu-lagu Pink Floyd terasa semakin 'nyata'. Seolah ada not-not balok yang mengalir lembut ke dalam kepala saya.

Saat itu dingin. Tapi kaki saya yang hanya beralaskan sandal justru terasa mau menguap. Saya juga merasa seperti duduk di kursi yang mengambang.

Lantas sampailah aplikasi pemutar lagu saya di penghujung "Have a Cigar". Sayatan gitar David Gilmour tiba-tiba dipotong oleh filter sweep kelewat kasar beresonansi tinggi yang bikin kepala saya seperti tersambar petir. Dari kuping kiri ke kuping kanan.

Saya menoleh ke kiri, memandangi wajah teman saya. Ia tersenyum. Entah kenapa saya jadi ikutan.

--

--

Sidra

I share some of my thoughts and works here. You’re welcome